Indahnya Gunung Papandayan

Indahnya Gunung Papandayan mencuri hati hati para penikmat Gunung.

Siapa yang tak mengenal Gunung Papandayan jika dia disebut penikmat Gunung ?

Rasanya semua sudah kenal, bahkan ada yang merasa sudah tak asyik lagi karena sudah tidak alami lagi.

Bagaimana tidak, disana ada warung dan toilet.

Bagi penikmat Gunung dengan segala pendakian dan camping hal-hal tersebut tidak menjadi tantangan lagi.

Namun tidaklah bagi kami penikmat laut, yang saat ini kami sahabat IDC lebih banyak penikmat laut.

Kelengkapan fasilitas di Gunung Papandayan membawa daya tarik tersendiri.

Tentang indahnya Gunung Papandayan dengan ciri khasnya sudah di tulis oleh seorang sahabat idc  Ina di September 2018 kemarin.

10 Jam Menuju Garut

Lelah,

Begitulah saat mobil yang kami tumpangi tidak kunjung sampai Garut, tidak seperti perjalanan yang di alami sahabat kami di September tahun lalu,hanya menempuh 5 jam saja.

Karena keterlambatan itulah merujung terlambat naik ke Gunung.

Namun keterlambatan itu membawa hal yang baik buat kami, informasi yang kami terima ada rombongan yang terlebih dulu sampai berangkat menuju puncak dengan di iringi rintik hujan.

Sedangkan kami ditemani oleh birunya langit yang menghilangkan lelah kami dalam perjalanan dalam mobil saat dari Jakarta.

Seperti itulah kadang seringnya sesuatu yang terasa terlambat itu melelahkan namun sesungguhnya hal itu membawa suatu keindahan pada akhirnya.

Perubahan Gunung Papandayan memikat hati

Sepanjang perjalanan menuju puncak, saya dengan serorang sahabat yang ketiga kalinya sudah ke Gunung ini menceritakan banyak perubahan.

Saya sendiri sungguh terkagum dengan indahnya Gunung Papandayan, sepanjang jalan walau dengan terik banyak hal yang indah saya dapati.

Mulai dengan bersihnya dan dibilang tak saya temui sampah dan terlihat sekali Gunung Papandayan tertata dengan rapi.

Hal itu dilakukan oleh pemerintah bagian pariwisata sudah cukup perduli, begitu kata kawan kami yang menjadi guide disana.

Ibhek, salah satu sahabat yang ketiga kalinya bertemu Gunung Papandayan , pertama kali di tahun 2015 juga melihat banyak perubahan.

Perubahan yang semakin mempesona, paling tidak seperti itu yang dia katakan dan dibenarkan oleh saya sendiri seorang yang pertama kali bertemu langsung jatuh hati.

Dinginnya dan Pamit dengan Iringan Hujan

Perjalanan kami tidaklah disebut terjal, jarak di tempuh tidaklah sama apa yang dilakukan oleh Ina dan kawan-kawan lainnya.

Guide kami berbaik hati memilihkan jalan yang lebih datar namun memang sedikit memutar. Tak mengapa karena diantara kami ada beberapa memang baru pertama kali bertemu Gunung atau pendakian.

Saya sendiri sebagai penikmat laut, pendakian Gunung inilah yang pertama kali.

Dingin,

Gunung Papandayan saat bertemu kami dibilanglah tidak terlalu dingin karena masih ada curah hujan, namun buat saya sungguh ini adalah tempat terdingin yang pernah saya rasakan.

Sampai ketika saya ingin buang air kecil diusahkan untuk tidak sering karena menyentuh airnya terasa ditusuk jarum.

Begitulah, karena memang saya seorang penikmat matahari.

Namun dengan itu bukan berarti saya jera.

Tidak,

Walaupun perjalanan kami saat pamit dari Indahnya Gunung Papandayan di temani hujan, dan mentari pagi tak bisa kami temui, padang Eldewis kami temui masih kuncup tak membuat kami jera.

Kami menikmati setiap moment yang diberikan waktu.

Tidak hanya pesona birunya langit saat mendaki, dinginnya malam dan dibangunkan oleh hujan deras saat subuh pun tetap kami nikmati.

Bahkan ketika pulang bersama hujanpun demikian, nikmat itu kami rasakan dan bahagia menyertai kami.

Terima kasih Sahabat

Akhirnya,

Memang perjalanan terasa indah , nikmat dan lengkap karena bersama siapa.

Begitulah, ketika saya berjumpa indahnya Gunung Papandayan pertama kali ditemani sahabat IDC.

Setiap pribadi membawa keunikan tersendiri yang membawa segalanya menjadi indah. Terima kasih sahabat, semoga dilain kesempatan kita bisa menjelajahi sudut negeri bisa bersama lagi.

Sedangkan saya rasanya pertama kali bertemu gunung Papandayan membawa rindu, tidak jera oleh dingin bahkan ingin kembali saat musim kemarau yang konon katanya jika musim itu jauh lebih dingin.

Kenapa tidak ?

Sesuatu yang terlihat sulit bukankah lebih baik dihadapi supaya terlatih hingga itu menjadi biasa.

Salah satunya dengan melatih diri menghadapi dingin gunung.

Ada yang berminat ikut saya ?

By : Nik