Tepat pukul dua lewat tiga puluh menit dini hari, saya beserta beberapa sahabat inindonesiaku.com lainnya mulai menapaki langkah demi langkah menuju kawah ijen,

cuaca yang cukup baik pagi itu, lengkap dengan taburan bintang mengkilap di langit, menambah keyakinan kami untuk sampai di Ijen dengan segera.

Menggerayangi Kawah Ijen dapat melalui dua rute pilihan, lewat Bondowoso maupun Banyuwangi Jawa Timur.

Ijen ini memiliki keunikan, dengan karakteristik danau berwarna hijau yang membentang, dan blue fire di tengahnya,

membuat Kawah Ijen semakin cantik saat mulai melihatnya dari dekat. 

Ciri khas saat menanjak

Di lima belas menit pertama perjalanan yang kami lalui memang cukup landai, dengan tanpa banyak basa-basi kami selesaikan dengan senang hati,

tapi, kejutan-kejutan kecil sudah tersusun rapi di periode lima belas menit berikutnya,

perjalanan santai nan landai langsung di bayar lunas dengan jalan kaki yang cukup menanjak hingga ke puncak. 

Bukan hanya jalan yang terus menanjak, kawah dengan danau hijau dan blue fire saja yang khas dari kawah ijen ini. 

Ada satu ciri khusus yang pastinya akan sahabat inindonesiaku temui saat menanjak di gunung Ijen ini, yaitu aktivitas para penambang belerang. 

Mereka akan mudah kita temui saat mendaki, dengan pikulan dan keranjang di bahunya, penambang belerang memburu rejeki sebelum kabut Ijen menghalangi jarak pandang.

Semangat dari penambang belerang

Saat sahabat inindonesiaku mulai kelelahan mendaki, penambang belerang yang berlalu-lalang tidak akan bosan memberi semangat.

“Tinggal sedikit lagi kok mbak atau mas, itu kata mereka.

Penambang ini memberi keteladanan, mencoba membakar semangat dengan tauladan langkah yang berisi, sehingga saat semangat kembali bangkit lagi,  

saya berikrar dalam hati, harus bias menaklukan Ijen ini, dan membuatnya diam dalam bingkai lewat kamera. 

Sesekali saya dan sahabat inindonesiaku lainnya menyempatkan untuk mengobrol dengan para penambang belerang. 

Mendengar kisah mereka

Setiap harinya mereka menanjak mulai jam 2 pagi, dan memikul beban setidaknya tujuh puluh hingga seratus kilogram di atas pundak, untuk sekali menambang

Bongkahan belerang itu laku empat ratus hingga tujuh ratus rupiah perkilonya, bisa dibayangkan,

jika dalam sehari mereka menambang sebanyak lima sampai tujuh kali bolak-balik. 

Tiada henti-hentinya saya bersyukur, karena bisa belajar dari mereka yang punya kesetiaan dan sifat yang pantang menyerah. 

Meski tak banyak yang bisa mereka pilih, jika tidak menambang belerang, darimana mau dapat uang. 

Anak-anak Ijen juga sudah terbiasa menjadi kuat sejak kecil, mereka tidak diajarkan menjadi pengeluh yang cengeng dan senang menyalahkan keadaan,

bahkan setelah lulus sekolah dasar, mereka dengan senang hati membantu ayahnya dengan dada membusung ke depan dan senyum yang tidak di indah-indahkan.

Blue fire

Satu demi satu penambang belerang kembali lewat, setiap mereka selalu tak henti memberi semangat,

mereka peduli dengan orang lain, walau kebanyakan yang datang ke sini Cuma ingin main-main. 

Dan puncak gunung Ijen kami tapaki,  tapi, untuk mencapai kawah Ijen, dan bercengkrama lebih dekat dengan danau serta blue firenya,

masih harus menantang perjalanan turun ke tengah, dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam.

Jangan pernah merasa cukup melihat indahnya Ijen hanya dari puncak sini, lantaran kami saja memutuskan untuk turun dan melengkapi pengalamannya.

Memang, apa yang kau bayar dengan perjuangan, tidak akan pernah mengecewakan, perjalanan turun selalu tidak akan sia-sia,

Ijen menyuguhkan pemandangan yang luar biasa cantiknya, sekali lagi, danau hijau, blue fire, dinding belerang, dan udara yang sejuk lengkap memeluk dari berbagai penjuru. 

Puluhan kilo di pundaknya

Sang penambang belerang juga ada disini, telaten menggarap ladang kehidupan mereka. 

Ada satu adegan saat saya melihat para penambang memanggul belerang dari bawah kawah hingga ke atas lagi, air mata tidak terasa jatuh meleleh,

sekali lagi saya disadarkan akan arti dari kehidupan, Puluhan kilo beban nyata di bahu tak menahan mereka menghadapi kehidupan, dibanding beberapa dari kita yang langsung berhenti saat baru menghitung beban di pikiran.

Sesekali untuk membangkitkan semangat diri sendiri, penambang belerang bernyanyi keras di kawah, suaranya menggema, menyebar melalui pantulan dinding belerang.

Perjalanan ke Kawah Ijen ini harus berakhir seiring dengan semakin pekatnya kabut yang menyelimuti kawah,

kami harus bergerak ke atas sebelum nafas sesak, kembali ditemani para penambang, kami menyongsong puncak dan meninggalkan perjalanan sejuta pesona,

pesona alamnya, pesona keakrabannya, pesona kearifan lokalnya, dan pesona syukur yang kadang kita sering lewatkan. 

Kawah Ijen, Ladang Rejeki Penambang Belerang, benar-benar a place to remember.

by @ibhekti