
Pagi itu, Saya, Dian, Grafitti dan Husni memulai hari dengan berkendara motor menuju Stadion Mandala Krida.
Grafitti, Sahabat inindonesiaku.com baru yang memberikan kami tumpangan untuk menginap di malam sebelumnya, pagi ini menjadi guide kami.
Gadis berperawakan tinggi langsing dan mengenakan jilbab itu terampil sekali mengendarai motor dan meliuk-liuk di jalanan Yogyakarta.
Hingga akhirnya, tak sampai lima belas menit kemudian, kami berempat sudah duduk di Warung Tenda yang berjajar di depan Stadion Mandala Krida.
Pilihan sarapan
Banyak pilihan makanan di tempat ini, namun kami memilih menu Soto Banjar dan Lontong Sayur.
Satu porsinya dibanderol tak lebih dari Rp. 13.000, dengan harga minuman yang berkisar antara dua hingga lima ribu rupiah saja.
Ditemani dengan semangkuk Soto Banjar yang meskipun rasanya terlalu asin, tapi masih bisa termaafkan.
Apalagi kalau bukan karena suasana Jogja yang enak dinikmati dan melenakan?
Perjalanan kami lanjutkan ke Tamansari Water Castle yang terletak di kawasan Keraton Yogyakarta Hadiningrat.
Tiket masuk
Dengan dipandu oleh Graf, jam sepuluh kami sudah memasuki Gapura Taman Kraton Ngayogyakarta. Kami membayar parkir sebesar Rp. 3000/motor,
dan tiket masuk 5 ribu rupiah/orang. Dengan tiket tersebut,
kami sudah dapat menikmati Wisata Yogyakarta, Tamansari Water Castle dan Sebuah Cerita dari Sang Abdi Dalem yang juga tersambung dengan masjid bawah tanah.
Terkagum-kagum
Di pelataran Pintu Masuk Tamansari, saya terkagum-kagum dengan bangunan bersejarah ini.
Megah, gagah, namun memberikan kesan romantis khas Para Raja. Dindingnya tinggi dengan berbagai ukiran menghias.
Bagian atapnya melengkung gagah, namun entah kenapa saya justru menangkap aura feminisme yang kuat pada bangunan ini.
Tepat di Pintu kedua, kami disambut patung Naga di sebelah kanan dan kiri. Bagian kepala di bawah, sedangkan badan dan ekornya menjulang ke atas, membentengi tangga.
Suasana di dalam
Masuk ke dalam, terdapat pot-pot raksasa yang berisikan pohon Beringin. Pot tersebut berjajar di kanan dan kiri kami.
Juga terlihat ada beberapa bangunan kokoh namun ukurannya kecil-kecil, sepertinya berfungsi sebagai gazeboo.
Pintu ketiga adalah tempat kami menukarkan tiket. Di tempat tersebut kami juga ditawari jasa pemandu. Hanya saja kami menolaknya.
Kami berempat memang ingin menikmati suasana sekaligus menguak sendiri sejarah Tamansari Water Castle ini.
Sedikit kami tahu, tempat ini adalah tempat pemandian para selir raja-raja Yogyakarta.
Menikmati
Setelah menuruni beberapa anak tangga, kami pun melihat sudah cukup banyak wisatawan domestik dan mancanegara yang sedang menikmati tempat ini.
Di dalamnya terdapat dua kolam luas membentang. Kolam pertama yang saya lihat berukuran lebih besar dibandingkan kolam kedua.
Lima pancuran berbentuk daun teratai diletakkan di setiap sisi dan bagian tengah kolam.
Kolam kedua, yang ukurannya lebih kecil daripada kolam pertama juga memiliki lima pancuran yang berbentuk serupa.
Airnya kehijauan, nampak indah terkena pantulan sinar matahari.
Jendela untuk “mengintip”
Di sebelah kanan dan kiri kolam juga terdapat bangunan yang mempunyai banyak jendela.
Bangunan tersebut ada yang terdiri atas tiga lantai, dimana setiap jendela menghadap ke kolam.
Konon, dari jendela itulah para raja “mengintip” selirnya mandi. Belum selesai sampai disitu, kami mencoba menaiki menara.
Ternyata di belakang menara terdapat satu kolam lagi yang berukuran lebih kecil.
Sedangkan di dalam menara, terdapat bekas tempat tidur raja dan saya hanya menebak, mungkin salah satu ruangan itu adalah tempat sauna.
Karena tempat tidurnya memiliki kolong yang bisa dipergunakan untuk tungku.
Perkampungan castle
Kaki terus melangkah, hingga sampailah kami pada sebuah perkampungan di belakang bangunan Tamansari Water Castle.
Suasana menjelang hari kemerdekaan begitu terasa. Sang Saka Merah putih berkibar di setiap rumah, juga di sepanjang jalan kampung.
Rapi, bersih, dan rata-rata setiap rumah memiliki gerai batik maupun workshop seni maupun souvenir khas Yogyakarta.
Masuk lebih jauh, kami baru mengetahui kalau ternyata, kampung ini adalah Kampung Cyber. Kampung yang seringkali diliput di televisi karena warganya melek internet.
Grafitti di dinding kampung cyber ini juga bagus-bagus dengan desain grafis yang unik dan warna mentereng. Membuat siapapun ingin berfoto dengan latar belakangnya.
Berbicara Bahasa Inggris, diantar gratis
Saat hendak menuju ke Masjid bawah tanah, kami hilang arah. Hingga akhirnya bertemu seorang kakek yang memanggil kami.
Kalau orang Jawa bilang, ngawe-awe. Kami pun menghampirinya. Namanya Kakek Soedarmadji. Usia sekitar 80 tahun.
Lazimnya bahasa yang digunakan di Yogya adalah bahasa Jawa, atau bahasa Indonesia. Tapi sang kakek ini, tidak menggunakan dua bahasa tersebut.
Beliau menyapa kami dengan bahasa Inggris, lalu mengajak kami untuk berbicara dengan Bahasa Inggris, atau Belanda.
Kalau terbukti fasih, maka kami akan diberitahu letak Masjid Sumur Gumuling, atau Masjid bawah tanah, sekaligus dapat cerita mengenai sejarahnya secara gratis.
Tentu saja saya dan teman-teman hanya bisa bahasa Inggris saja.
Akhirnya si kakek ini setuju, menerangkan silsilah kerajaan Yogyakarta dan Masjid Bawah tanah dengan bahasa Inggris yang fasih.
Beliau bercerita kalau dulu sempat sekolah di negeri Belanda, sehingga menguasai tiga bahasa asing. Bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman.
Kemahirannya berbahasa asing ini diturunkannya kepada anak-anaknya, yang kini sudah “mentas” semua.
Salah satunya ada yang menjadi staf ahli presiden dalam bidang bahasa, karena menguasai empat bahasa dengan fasih.
Sisanya ada yang menjadi dosen, atau abdi negara.
Mampir ke rumah kakek guide
Kami pun diajak mampir ke rumahnya, yang letaknya tak jauh dari tempat kami berdiri. Tepatnya di Taman KT, Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton.
Beliau pun akhirnya menjelaskan kalau sejatinya, beliau adalah seorang abdi dalem yang ditugaskan oleh Sultan Hamengkubuwono X, untuk menjelaskan budaya Jawa,
khususnya Yogyakarta kepada para wisatawan.
Dari cerita Kakek Soedarmadji juga kami mengetahui bahwa tidak sembarang orang bisa menginap atau bermalam di kawasan Taman KT ini.
Warganegara asing pun dilarang menginap di kawasan Tamansari Water Castle.
Hal tersebut karena, tempat ini merupakan tempat pemandian para selir Raja Yogyakarta.
Sehingga keberadaan warga asing dikhawatirkan dapat mengganggu ketenangan atau bahkan menimbulkan fitnah yang dapat menimpa para selir tersebut.
Kami pun ditunjukkan sticker yang berisi larangan keras warga asing menginap di kawasan Tamansari.
Sticker tersebut masih tertempel dengan rapi di pintu rumah Kakek Soedarmadji.
Akhir cerita, beliau berpesan pada kami untuk senantiasa menjaga perilaku dan adat ketimuran.
Santun dalam bahasa, luwes dalam bergerak, dan sopan dalam perilaku. Sebagai generasi muda sudah semestinya menjunjung tinggi budaya bangsa.
Tanpa mengharap imbalan, apalagi pujian. Dan karena kami dari kalangan akademisi, kami pun dititipi pesan untuk selalu memberikan ilmu yang bermanfaat buat orang lain.
Menurunkan keahlian yang didapat di bangku sekolah untuk kesejahteraan masyarakat.
Juga membuka “mind” agar tak tertinggal dengan bangsa lain.
Wisata Yogyakarta, Tamansari Water Castle dan Sebuah Cerita dari Sang Abdi Dalem, a place to remember.
by Arum Silviani